Minggu, 21 September 2014

WISATA BUDAYA WAKATOBI

1.      Prosesi Duata



Prosesi Duata adalah Ritual Adat Suku Bajo. Duata adalah saduran dari kata Dewata, dalam keyakinan masyarakat bajo, Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma dalam kehidupan manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo. Duata berlangsung jika ada salah satu kerabat suku mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termaksud pengobatan medis.
Dalam prosesi Duata yang digelar pada pelaksanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah tetua adat sengaja menyempatkan waktunya berkumpul dalam suasana pengobatan. Terbentuklah suatu ruangan dengan ukuran sekitar 2 meter persegi. Dihiasi dengan janur kuning di bagian atasnya, meski tanpa pagar. Ada pula “Ula-Ula” bendera lambing kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan. Tetua adat yang didominasi wanita lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkapan ritual. Ada beras berwarna warni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang, ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula pembakaran dupa untuk mengharumkan sekitar pelaksanaan kegiatan, daun sirih, kelapa dan pisang. Setelah semua bahan teracik sesuai dengan kebiasaan sebelumnya, orang orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu lilligo tak pernah putus dinyanyikan, demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan terdepan berjajar delapan orang gadis cantik berpakaian adat tak berhenti menggerakan badannya dan menggetarkan hatinya sambil menari Ngingal.
Di atas perahu semua peserta juga harus menari Ngigal untuk menyemangati orang yang sakit agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat melakukan prosesi larungan. Prosesi Duata juga melibatkan pisang dan beberapa perlengkapan tidur, baik berupa bantal dan tikar. Menurut cerita prosesi ini dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut. Dalam kehidupan masyarakat Bajo, mereka percaya, bahwa setiap kelahiran anak pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut. Sehingga jika salah satu diantara mereka menderita sakit keras, sebagian semangat hidup orang itu telah diambil oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak untuk dibawa menemaninya ke laut, dan sebagian lagi menjadi pendamping dewa untuk mengarungi langit ke tujuh. Usai pelarungan, orang sakit dan tetua adat kembali ke tempat semula. Orang yang sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan bunga pinang atau di sini terkenal dengan nama mayah. Proses ini berguna untuk membersihkan penyakit yang ada dalam tubuh dan mengusir roh jahat. Selain itu, tetua adat juga akan mengikatkan benang di lengan yang sakit, konon benang ini berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh tujuh bidadari sebagai obat. Dari benang yang sebelumnya tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembuh atau tidak.
Untuk menguji kesembuhan, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya orang sakit tersebut di putari sebanyak beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang terhunus. Kekuatan mental langsung diuji seketika itu juga. Pengujian kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan, karena telah terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak saudara bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si sakit.

2.      Upacara Adat Kabuenga



Adalah salah satu perayaan lokal yang bahkan katanya telah diadakan sejak zaman kerajaan Buton. Kabuenga sendiri adalah ayunan besar yang dapat diduduki oleh perempuan dan laki-laki dewasa dimana mereka percaya bahwa pasangan yang diayun adalah berjodoh. Oleh sebab itu yang mengayunkanpun sambil memanjatkan do’a dan nyanyian untuk mendo’akan pasangan tersebut, kabuenga ini diadakan karena pemuda lokal yang notabenya adalh pelaut sulit memiliki waktu untuk bersosialisasi sehingga mereka kesulitan mencari pasangan sehingga diadakan kabuenga untuk mengatasi hal ini.
Prosesi kabuenga dimana para gadis dalam balutan pakaian adat bersama para ibu mereka dituntun dan berjalan mengelilingi arena kegiatan sambil menyanyikan lagu kadhandiyo untuk beberapa kali. Sehubungan dengan prosesi, para gadis menyuguhkan minuma dalam takaran tertentu kepada tamu yang diundang. Tamu dengan spontan akan menghargai minuman dengan memberi sejumlah uang dalam amplop yang tertutup. Setelah prosesi itu selesai, anak-anak muda membagikan bingkisan kepada sejumlah gadis kecil peserta kabuenga yang biasa mengambil tempat di tengah arena. Setelah itu acar yang ditunggu-tunggupun berlangsung, para orang tua lalaki akan memberikan sejumlah uang atau membawa bahan makanan untuk diberikan kepada sang gadis pujaan sang pemuda. Maka berarti sang pemuda mencintai sang gadis. Acara kabuenga diakhiri dengan mengayun pasangan muda-mudi yang diketahui saling mencintai, mereka diayunkan oleh para orang tua dan disaksikan oleh pengunjung. Konon mantra “kabuenga” sangat manjur sehingga dipercaya bagi pasangan yang duduk bersama dan diayun akan berjodoh.

3.      Upacara Adat Karia’a



Upacara adat karia’a merupakan salah satu tradisi suku buton wakatobi yang dilakukan sejak 1918. Biasanya dilakukan disebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara nyanyian dari sekelompok ibu-ibu. Seluruh peserta perayaan karia’a akan mendapatkan bagian dari syara (pemimpin upacara karia’a). kemudian, semua peserta upacara akan menuju batanga (tempat perayaan) dari rumah mereka masing-masing dengan menggunakan kansoda’a ( usungan yang terbuat dari bamboo atau besi ). Perayaan karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampong, uniknya dalam perayaan karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat melainkan anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah dan setiap usungan berisi tiga sampai lima anak perempuan lalu diusung oleh empat sampai sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan karia’a boleh juga diikuti oleh laki-laki dewasa yang sudah disunat tapi belum pernah mengikuti perayaan karia’a sebelumnya.

4.      Upacara Adat Mbule-mbule
Adalah upacara meraung hasil bumi ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mandati. Berbagai hasil bumi itu diantaranya : padi, jagung dan pisang. Sebelum dilarung ke laut ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama hasil bumi diletakan dalam perahu kayu yang dihiasi dengan sepasang orang-orangan sebagai symbol kejahatan. Kedua perahu yang sudah berisai hasil bumi ini kemudian diarak keliling kampung guna mengusir mara bahaya yang akan mengganggu desa. Tujuan dari acara Bangka Mbule-mbule adalah untuk mengucapkan syukur sekaligus menghindari bencana seperti : bencana alam, mewabahnya penyakit atau persoalan social yang dapat mengakibatkan gangguan di masyarakat.

5.      Pesta Adat Safara

Pesta Adat Safara adalah Pesta adat masyarakat Tomia yang dilakukan pada setiap Bulan Safar. Penyelenggaran ritual adat tersebut bertujuan untuk mengeratkan tali silaturahmi dan gotong royong serta ungkapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan rejekiNya. Ritual ini ditandai dengan acara mandi bersama seluruh warga dengan saling menyiram satu sama lain dengan diawali dengan doa oleh sesepuh adat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar