1.
Prosesi Duata
Prosesi Duata adalah Ritual Adat Suku Bajo.
Duata adalah saduran dari kata Dewata, dalam keyakinan masyarakat bajo, Duata
adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma dalam kehidupan manusia.
Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku Bajo.
Duata berlangsung jika ada salah satu kerabat suku mengalami sakit keras dan
tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termaksud pengobatan medis.
Dalam
prosesi Duata yang digelar pada pelaksanaan Festival Budaya Wakatobi, sejumlah
tetua adat sengaja menyempatkan waktunya berkumpul dalam suasana pengobatan.
Terbentuklah suatu ruangan dengan ukuran sekitar 2 meter persegi. Dihiasi
dengan janur kuning di bagian atasnya, meski tanpa pagar. Ada pula “Ula-Ula”
bendera lambing kebesaran suku bajo yang diyakini membawa keberkahan. Tetua
adat yang didominasi wanita lanjut usia meramu berbagai jenis pelengkapan
ritual. Ada beras berwarna warni yang dibentuk melingkar di atas daun pisang,
ini melambangkan warna-warni sifat yang dimiliki manusia. Ada pula pembakaran
dupa untuk mengharumkan sekitar pelaksanaan kegiatan, daun sirih, kelapa dan
pisang. Setelah semua bahan teracik sesuai dengan kebiasaan sebelumnya, orang
orang yang akan diobati digiring menuju laut. Sepanjang perjalanan lagu lilligo
tak pernah putus dinyanyikan, demikian dengan tabuhan gendang. Dibarisan
terdepan berjajar delapan orang gadis cantik berpakaian adat tak berhenti
menggerakan badannya dan menggetarkan hatinya sambil menari Ngingal.
Di
atas perahu semua peserta juga harus menari Ngigal untuk menyemangati orang
yang sakit agar kembali menemukan semangat hidupnya. Sementara tetua adat
melakukan prosesi larungan. Prosesi Duata juga melibatkan pisang dan beberapa
perlengkapan tidur, baik berupa bantal dan tikar. Menurut cerita prosesi ini
dilakukan untuk memberi makan saudara kembar si sakit yang berada di laut.
Dalam kehidupan masyarakat Bajo, mereka percaya, bahwa setiap kelahiran anak
pasti bersama kembaran yang langsung hidup di laut. Sehingga jika salah satu diantara
mereka menderita sakit keras, sebagian semangat hidup orang itu telah diambil
oleh saudara kembarnya yang disebut Kakak untuk dibawa menemaninya ke laut, dan
sebagian lagi menjadi pendamping dewa untuk mengarungi langit ke tujuh. Usai
pelarungan, orang sakit dan tetua adat kembali ke tempat semula. Orang yang
sakit akan kembali melalui beberapa prosesi pengobatan seperti mandi dengan
bunga pinang atau di sini terkenal dengan nama mayah. Proses ini berguna untuk
membersihkan penyakit yang ada dalam tubuh dan mengusir roh jahat. Selain itu,
tetua adat juga akan mengikatkan benang di lengan yang sakit, konon benang ini
berasal dari langit ketujuh yang dibawa turun oleh tujuh bidadari sebagai obat.
Dari benang yang sebelumnya tersimpan dalam cangkir, tetua adat dapat
mengetahui apakah yang sakit ini masih dapat sembuh atau tidak.
Untuk
menguji kesembuhan, salah satu tetua adat akan menancapkan keris tepat diatas
ubun-ubun orang yang sedang dalam pengobatan. Selanjutnya orang sakit tersebut
di putari sebanyak beberapa kali oleh tetua adat sambil membawa keris yang
terhunus. Kekuatan mental langsung diuji seketika itu juga. Pengujian
kesembuhan ini juga dilakukan dengan cara mengadu dua ekor ayam jantan. Jika
ayam si sakit menang maka itu berarti si sakit telah sembuh. Selanjutnya si
sakit akan menghambur-hamburkan beras sebagai wujud kegembiraan, karena telah
terbebas dari penyakit yang dideritanya. Sementara keluarga dan sanak saudara
bersorak dengan meriah merayakan kesembuhan si sakit.
2.
Upacara Adat Kabuenga
Adalah salah satu perayaan lokal yang bahkan
katanya telah diadakan sejak zaman kerajaan Buton. Kabuenga sendiri adalah
ayunan besar yang dapat diduduki oleh perempuan dan laki-laki dewasa dimana
mereka percaya bahwa pasangan yang diayun adalah berjodoh. Oleh sebab itu yang
mengayunkanpun sambil memanjatkan do’a dan nyanyian untuk mendo’akan pasangan
tersebut, kabuenga ini diadakan karena pemuda lokal yang notabenya adalh pelaut
sulit memiliki waktu untuk bersosialisasi sehingga mereka kesulitan mencari pasangan
sehingga diadakan kabuenga untuk mengatasi hal ini.
Prosesi
kabuenga dimana para gadis dalam balutan pakaian adat bersama para ibu mereka
dituntun dan berjalan mengelilingi arena kegiatan sambil menyanyikan lagu
kadhandiyo untuk beberapa kali. Sehubungan dengan prosesi, para gadis
menyuguhkan minuma dalam takaran tertentu kepada tamu yang diundang. Tamu
dengan spontan akan menghargai minuman dengan memberi sejumlah uang dalam
amplop yang tertutup. Setelah prosesi itu selesai, anak-anak muda membagikan
bingkisan kepada sejumlah gadis kecil peserta kabuenga yang biasa mengambil
tempat di tengah arena. Setelah itu acar yang ditunggu-tunggupun berlangsung,
para orang tua lalaki akan memberikan sejumlah uang atau membawa bahan makanan
untuk diberikan kepada sang gadis pujaan sang pemuda. Maka berarti sang pemuda
mencintai sang gadis. Acara kabuenga diakhiri dengan mengayun pasangan
muda-mudi yang diketahui saling mencintai, mereka diayunkan oleh para orang tua
dan disaksikan oleh pengunjung. Konon mantra “kabuenga” sangat manjur sehingga
dipercaya bagi pasangan yang duduk bersama dan diayun akan berjodoh.
3.
Upacara Adat Karia’a
Upacara
adat karia’a merupakan salah satu tradisi suku buton wakatobi yang dilakukan
sejak 1918. Biasanya dilakukan disebuah lapangan terbuka, ditandai dengan suara
nyanyian dari sekelompok ibu-ibu. Seluruh peserta perayaan karia’a akan
mendapatkan bagian dari syara (pemimpin upacara karia’a). kemudian, semua
peserta upacara akan menuju batanga (tempat perayaan) dari rumah mereka masing-masing
dengan menggunakan kansoda’a ( usungan yang terbuat dari bamboo atau besi ).
Perayaan karia’a dilakukan dengan arak-arakan keliling kampong, uniknya dalam
perayaan karia’a yang diusung bukanlah anak laki-laki yang telah disunat
melainkan anak perempuan yang telah didandani dengan pakaian adat daerah dan
setiap usungan berisi tiga sampai lima anak perempuan lalu diusung oleh empat
sampai sepuluh laki-laki dewasa. Arak-arakan karia’a boleh juga diikuti oleh
laki-laki dewasa yang sudah disunat tapi belum pernah mengikuti perayaan
karia’a sebelumnya.
4.
Upacara Adat Mbule-mbule
Adalah
upacara meraung hasil bumi ke laut yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mandati.
Berbagai hasil bumi itu diantaranya : padi, jagung dan pisang. Sebelum dilarung
ke laut ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama hasil bumi diletakan dalam
perahu kayu yang dihiasi dengan sepasang orang-orangan sebagai symbol
kejahatan. Kedua perahu yang sudah berisai hasil bumi ini kemudian diarak
keliling kampung guna mengusir mara bahaya yang akan mengganggu desa. Tujuan
dari acara Bangka Mbule-mbule adalah untuk mengucapkan syukur sekaligus
menghindari bencana seperti : bencana alam, mewabahnya penyakit atau persoalan
social yang dapat mengakibatkan gangguan di masyarakat.
5.
Pesta Adat Safara
Pesta Adat Safara adalah Pesta adat masyarakat Tomia yang
dilakukan pada setiap Bulan Safar. Penyelenggaran ritual adat tersebut
bertujuan untuk mengeratkan tali silaturahmi dan gotong royong serta ungkapan
syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan rejekiNya. Ritual
ini ditandai dengan acara mandi bersama seluruh warga dengan saling menyiram
satu sama lain dengan diawali dengan doa oleh sesepuh adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar