1.
Masjid Agung Bente
Adalah
merupakan sebuah peninggalan dan salah satu fakta sejarah masa lampau yang
memiliki keunikan tersendiri. Berada ditengah-tengah Benteng Tua seluas tujuh
hektar di atas bukit Desa Ollo. Masjid Agung Bente didirikan kurang lebih pada
tahun 1401, oleh seorang haji yang bernama H. Pada merupakan pesiar yang terdampar di Kaledupa
karena pada zaman dulu terdapat beberapa pesohor dari Nusa Tenggara Timur yang
dua perahu terdampar di Buton dan Kaledupa. H. Pada yang menurut cerita adalah
haji yang sembahyang di atas pada (alang-alang) dan sebagaian juaga menafsirkan
bahwa H. Pada adalah Haji yang berasal dari Padang.
Pada
saat mendirikan Mesjid ada seorang gadis yang berpakaian adat (anak tunggal
yang perawan ) dikubur hidup-hidup ditengah mesjid menjadi simbol pusat dari
masjid. Masjid Agung Bente telah mengalami renovasi. Bentuk awal dari masjid
tersebut beratap alang-alang dan mempunyai satu tiang penyangga. Namun setelah
terjadi kebakaran atap masjid diganti atap seng dan tiang penyangga tengahnya
empat tiang. Stukur dinding masjid terbuat dari campuran batu dan kapur.
Pemugaran perrtama pemugaran pondasi pada tahun 80-an, sedangakan pemugaran
lantai dilakukan pada tahun 1995. Jumlah ruas kayu yang ada dalam masjid
menggambarkan jumlah tulang yang ada pada manusia. Pintu masuk : tangga Masjid
Agung Bente menggambarkan dua kaki manusia sedangkan di depan pintu masuk
masjid terdapat beberapa batu yang diletakan sebagai lantai masjid, menggambarkan
organ dalam manusia, seperti hati, paru-paru, limpa dan lain-lain. Dibagian
depan teras masjid trdapat dua goje-goje (serambi/saung) yaitu tempat
bermusyawarah “sarah” dari dua Limbo yaitu sebelah selatan tembat duduknya
sarah dari Umbosa dan sebelah timur tempat duduknya sarah dari Slova. Dikedua
pinggir tangga masjid terdapat dua buah guci tua tempat mengambil air wudhu.
Dulu, kerajaan kaledupa terdiri dari sembilan Limbo, menggambarkan sembilan
lubang yang terdapat pada tubuh manusia. terbagi atas lima Limbo dalam benteng
dan empat Limbo di luar benteng. Masjid Agung Bente mempunyai dua khotib
Umbosa, Siopa dan satu imam. Pembacaan khotbah sama denganpelaksanaan pembacaan
khotbah di Masjid Keraton Buton, yaitu pengkhotbahnya memakai jubah dan tongkat
serta naskah khotbah digulung. Tiap khotbah kedua menerangkan keadaan kesultaan
Buton. Masjid Agung Bente memiliki ukuran panjang pondasi seluruhnya 20 m,
lebar pondasi 17,80 m, tinggi pondasi 2 m, panjang bangunan masjid 13,40 m,
Lebar bangunan Masjid 13,20 m, dan tinggi bangunan 2 m.
2.
Benteng Liya dan
Masjid Keraton Liya
Benteng
Liya terletak di Desa Liya Togo Kec. Wangi-Wangi Selatan. Benteng Liya terdiri
dari empat lapis dengan 12 Lawa
(Pintu), 12 lawa tersebut
merupakan pintu keluar yang digunakan masyarakat kerajaan untuk berinteraksi
dengan masyarakat sekitarnya.
Benteng
Liya dibangun 1538 M atau Abad ke 15 pada masa Syekh Abdul Wahid di atas bukit,
jarak benteng dari pinggir laut adalah sekitar 1,5 km. Dengan bentuk jalan yang
menyerupai angka 9. Dari benteng terlihat jelas wilayah laut utara, timur dan
selatan. Di dalam benteng terdapat Masjid Keraton Liya yang berjarak 8 Km atau
15 menit dari Ibukota Kabupaten, dapat ditempuh menggunakan alat transportasi
roda dua dan empat.
3. Mercusuar
Mercusuar
ini dibangun 1901 pada masa penjajahan Belanda. Bangunan masih asli dengan
tekstur Belanda. Tujuan dibangun mercusuar ini adalah terciptanya keselamatan
pelayaran, karena telah banyak kapal karam di laut wangi-wangi menabrak karang
maupun daratan. Pada saat itu tterdapat Kristal sebagai sinar pantulan penunjuk
arah navigasi kapal, namun telah diambil oleh perhubungan laut Makasar dan
sekarang diganti dengan cahaya petromax.
Lokasi
objek wisata ini ada di Desa Waha Kecamatan Wangi-Wangi, dengan jarak ± 8 Km
atau dari Ibukota Kabupaten dan dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua ± 15
menit. Tinggi Mercusuar ini ± 30 meter dari atas tanah dan 150 meter dari
permukaan laut. Dari atas puncak Mercusuar kita dapat melihat Pemandangan Alam
Matahari Terbit (Sunrise),
pesona pantai Waha, perkampungan penduduka Waha, perkebunan dan beberapa resort
seperti Patuno Beach Resort.
4.
Benteng Patua
Benteng
Patua adalah salah satu situs sejarah kebudayaan masyarakat Tomia. Benteng
tersebut berada di Desa Patua II Kecamatan Tomia, dapat ditempuh dengan
kendaraan roda dua dan roda empat ± 15 Menit dari ibukota kecamatan. Benteng
Patua berada di atas perbukitan. Benteng Patua menghadap ke arah Pulau Lente’a
di Sebelah Timur Pulau Kaledupa. Benteng Patua mempunyai lima Lawa (Pintu), ada Hanta Baruga(tempat
pertemuan), Makam Tua berbentuk segi empat, Badili
(meriam) dan beberapa makam lainnya.
Di
dalam benteng juga ditumbuhi beberapa pohon seperti beringin, kaktus, dan
tumbuhan lainnya. Dahulu benteng ini digunakan sebagai tempat pertahanan dan
pemukiman penduduk. Dari atas benteng para wisatawan dapat menyaksikan
pemandangan alam dan tampak jelas Pulau Kaledupa dari atas benteng.
5. Makam Tua dan Kamali
Makam
Tua dan Kamali berada di Desa Pale’a Kecamatan Kaledupa Selatan. Makam tua
ini merupakan makam yang dikeramatkan oleh masyarakat setempat, karena
makam ini adalah makam Bontona Kaledupa dan Haji Padha. Bontona Kaledupa
merupakan orang yang memimpin pemerintahan Barata Kahedupa, yang dilantik oleh
Sultan Buton untuk menjaga wilayah Kesultanan Buton dari serangan dari
arah bagian timur Pulau Buton. Sedangkan Haji Padha adalah orang yang pertama
menyiarkan agama Islam di Pulau Kaledupa.
Di
Makam Tua ini terdapat Rumah Adat Kamali. Rumah Adat tersebut memiliki luas ± 3
x 4 meter, terbuat dari kayu dengan dinding dari bambu. Rumah Adat berbentuk
panggung, menggunakan atap daun rumbia. Di bagian atas atap terdapat kayu yang
menggambarkan kepala naga. Menurut cerita masyarakat, dahulu Kamali di huni
oleh lafero
(ular besar).